PENDAHULUAN
Ada tiga orang pelaku dialog “Cratylus” ini yakni Hermogenes (conventionalist), Socrates, dan Cratylus (naturalist). Dialog ini sebenarnya adalah satu dialog yang utuh, namun tulisan ini secara spesifik mencoba menginterpretasi isi dari dialog antara Socrates dan Cratylus. Setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi perdebatan (baca : diskusi) dari kedua tokoh ini, yakni tentang (1) kebenaran nama (the correctness of name), dan (2) kekuatan dan kegunaan nama (the power and the use of name).
THE CORRECTNESS OF NAME
Di awal perdebatan (baca : pada saat Socrates berpaling dari Hermogenes ke Cratylus), Socrates menantang Cratylus untuk mengungkapkan gagasannya yang lebih baik menyangkut ‘kebenaran’ nama (the correctness of name) (hal.462/428b). Cratylus pada dasarnya menganut paham naturalis menyangkut nama. Dia menyetujui pendapat yang telah diutarakan oleh Socrates. Paham naturalismenya bahkan sampai pada tataran percaya bahwa jika suatu nama betul-betul nama, maka secara alami nama itu pasti benar. Dia mencontohkan nama “Hermogenes” sebetulnya tidak diberikan kepada yang Hermogenes (hal.463/429c). Hanya anggapan orang yang mengatakan demikian adanya, padahal nama itu adalah nama orang lain, yakni orang yang paling pas dengan karakter nama itu. Pandangan Cratylus itu mendorongnya untuk mengatakan bahwa seseorang tidak dapat berbicara atau mengatakan sesuatu secara salah (neither spoken nor said) (hal 463/429e), walaupun baginya ini bukanlah klaim para kaum relativis. Barangsiapa yang bicaranya tidak sesuai dengan aturan yang ketat mengenai kebenaran alamiah sesungguhnya tidak sedang berbicara. Mereka sesungguhnya hanya omong kosong saja (talking nonsense).
Bertolak belakang dengan klaim Cratylus yang ekstrim, Socrates mengemukakan sepasang argumen yang cerdas. Pertama, dia menyatakan bahwa kita dapat mengetahui bahwa suatu aksi tertentu adalah merupakan upaya untuk menamai, bahkan jika nama yang ditetapkan itu salah (hal. 465/430e – 431a). Kedua, jika nama yang benar adalah nama yang tersusun dari huruf-huruf yang meniru esensi benda yang dinamai, maka dimungkinkan memiliki nama yang lebih dari kadar yang seharusnya atau malah kurang. Nama semacam itu merupakan imitasi dari bendanya, karenanya dia merupakan sebuah nama, namun karena merupakan imitasi yang tak sempurna sehingga dia merupakan nama yang salah (hal.465/431b – hal 467/433b). Bahkan jika kita menerima bahwa terdapat nama yang benar secara alami untuk setiap benda, kita harus menerima juga bahwa ada beberapa kata yang bukan nama yang benar secara alami, tetapi tetap merupakan nama. Socrates menjelaskan bahwa penggunaan aturan-aturan konvensi untuk memberi nama pada benda diperlukan mengingat nama tidak selalu dapat ditransformasi menjadi kemiripan yang sempurna (perfect likeness) dengan benda yang dinamai. Nama benda tidak identik dengan bendanya, dia hanya merupakan representasi dari benda yang dimaksud. Oleh Cratylus, bagaimanapun adanya, representasi karena kemiripan (representation by likeness) adalah lebih baik ketimbang representasi lainnya (hal. 468/434b).
Menyangkut bunyi, untuk meyakinkan Cratylus, Socrates mencontohkan kata dalam dua bahasa (Attic = σΚηρότης dan Eretrian = σΚληρότηρ) yang artinya “kepadatan” (hal. 468/434c). Kedua nama itu nampak memiliki kebenaran alami, karena keduanya menunjukkan ciri-ciri “padat’. Kata-kata itu diucapkan sedemikian rupa supaya memenuhi kriteria “padat”. Oleh Cratylus, hal ini benar, namun hanya sebatas penggunaannya saja (custom) (hal. 469/434e).
Mendengar komentar seperti itu, Socrates memaksa Cratylus untuk menyetujui bahwa istilah “custom” atau penggunaan itu tak lebih dari konvensi. Kurang lebih Socrates mengatakan: “Jika kamu tahu bahwa yang kamu maksud “keras” atau “padat” manakala kamu mengatakan σΚηρότης, maka dengan sendirinya kamu masuk pada apa yang disebut konvensi, dan kebenaran sebuah nama adalah masalah konvensi, karena bukankah peluang penggunaan dan konvensi yang membuat huruf-huruf (serupa atau tak serupa) menyatakan benda?” (hal 469/435a) Intinya adalah bahwa nama yang tidak benar secara alami sekalipun dapat dibuat bermakna melalui konvensi. Socrates telah membuktikan bahwa terdapat nama yang bermakna dan benar, walaupun tidak benar secara alami seperti yang dipersyaratkan oleh Cratylus.
Jika berdiri sendiri, argumen Socrates tidak merusak tesis alamiah tersebut. Seorang naturalis bisa setuju bahwa terdapat beberapa nama yang dalam penggunaannya tidak benar menurut alam, dan setuju bahwa nama-nama ini memiliki kebenaran konvensional, sambil tetap bertahan pada tesa yang mengatakan bahwa terdapat satu nama yang benar secara alami untuk setiap benda.
Dalam hal angka, Socrates mempertanyakan kepada Cratylus bagaimana memperoleh nama yang mirip dengan angka-angka tersebut, jika Cratylus tidak berkenaan dengan pamakaian konvensi (hal.469/435b). Angka adalah sesuatu yang esensinya tidak dapat ditiru oleh mulut atau lidah. Lidah dapat begitu saja meluncur sesukanya, dan mulut dapat menyesuaikan dirinya untuk semua jenis bentuk, namun tetap saja mereka tidak dapat meniru kata “dua” atau “lima”. Tidak ada nama yang benar-benar benar untuk angka. Karena itu kita butuh konvensi.
Socrates condong pada pandangan bahwa nama sedapat mungkin mirip dengan bendanya. Namun dia menyadari bahwa jika pandangan seperti ini dipertahankan sama halnya dengan menyeret kapal ke pendakian berlumpur, seperti yang diisyaratkan oleh Hermogenes. Olehnya itu, dia melihat bahwa penggunaan konvensi lebih tepat dalam konteks kebenaran nama. Tentunya, masih menurut Socrates, cara yang terbaik bahwa nama seyogyanya mirip dengan bendanya, dan cara yang terburuk jika keadaan menunjukkan sebaliknya (hal 469/435c).
Sepintas, posisi Socrates cukup jelas. Dia telah menunjukkan bahwa nama-nama dari benda-benda, misalnya angka-angka, harus ditentukan lewat konvensi, tetapi jika memungkinkan kita seyogyanya memberi nama sealami mungkin. Akan sangat indah bila dikatakan bahwa semua nama kita ini benar, tetapi jika kita memaksakan untuk memakai nama yang semuanya alami, itu adalah pekerjaan yang muskil. Konvensi berfungsi pada tataran ini.
THE POWER AND THE USE OF NAME
Persoalan kebenaran nama dianggap cukup, dan Socrates berpindah pada masalah yang kedua yakni menyangkut kegunaan nama. Sejatinya, ada dua hal yang dipertanyakan oleh Socrates kepada Cratylus, yakni: “What is the power of names, and what is the use of them?” (hal. 469/435d).
Menurut Cratylus, kegunaan nama adalah member informasi. Sementara kekuatan nama (the power of names) adalah bahwa barangsiapa yang mengetahui nama sesuatu benda, pastilah dia juga mengetahui bendanya. Mengajarkan makna nama adalah cara yang terbaik dan satu-satunya dalam memberi instruksi tentang benda-benda itu (hal. 469/435e).
Klaim Cratylus di atas ditentang oleh Socrates. Ini tercermin dari hampir keseluruhan sisa dialog.
Problema pertama gagasan di atas bersifat epistemik. Barangsiapa yang mengamati atau menyelidiki benda dengan mengambil nama sebagai panduannya, maka dia berlindung pada pandangan orang-orang yang pertama memberi nama itu (hal 470/436b).
Bahasa Yunani (Attic), menurut Socrates, tidak memberi gambaran realitas yang ajeg manakala diuji oleh teori naturalistik, tetapi ada indikasi bahwa bahasa itu dikembangkan oleh orang-orang yang percaya pada doktrin Heraclitus yang mengatakan bahwa “segala sesuatu itu bergerak dan tidak diam” (hal. 438/401d). Socrates banyak memberi contoh dimana nama-nama yang diberikan oleh para pemberi nama terdahulu justeru mengindikasikan bahwa nama itu merujuk pada benda yang diam (rest), kebalikan dari benda bergerak (motion) (hal 471/437c). Dan bahkan jika pandangan yang konsisten muncul, itu hanya akan memberitahu kita apa yang telah dipikirkan oleh pemberi nama yang pertama, dan mungkin saja mereka juga salah.
Masalah kedua, jika studi tentang nama adalah satu-satunya cara untuk mempelajari realitas, maka kita tidak dapat menjelaskan bagaimana para pemberi nama itu menuju pada suatu kesimpulan. Mereka pastinya telah memperoleh pengetahuan mereka dari suatu tempat, dan bukan melalui bahasa (hal 472/438b). Terlebih lagi, jika kita hendak mencari tahu yang mana nama yang “well given” dan yang mana yang tidak, maka kita harus mencari sesuatu selain nama, sesuatu yang akan menjadi dasar kita untuk melihat yang mana diantara kedua jenis penamaan ini yang benar (hal. 472/438d). Pastinya ada cara untuk menguji benda itu secara langsung ketimbang melalui namanya. Cara langsung ini pastinya lebih superior. Hanya dengan cara melihat langsung pada bendanya sendiri yang memungkinkan kita dapat memperoeh pengetahuan yang tidak subyektif dan bias.
Pada akhir dialog, Socrates memberi penjelasan singkat mengapa dia menolak teori Heraclitus (hal. 473/439c – hal. 474/440b). Sejatinya, pendapat Socrates itu bukan dimaksudkan untuk menolak mentah-mentah pandangan Heraclitus. Dia hanya mengungkapkan sikap oposisi terhadap doktrin Heracliteanisme yang sangat dikagumi oleh Cratylus. Ini menjelaskan kepada kita sebuah contoh ketidaksepahaman filosofis, suatu jenis ketidaksepahaman yang tidak mampu secara memuaskan dipecahkan oleh penelitian-penelitian etimologis. Socrates mengisyaratkan bahwa perdebatan antara dirinya dengan paham Heracliteanisme tidak pernah menghasilkan solusi.
Kesimpulan Socrates:
Apakah dia benar menyangkut semua itu, atau apakah kebenaran berada pada pihak Heraclitus dan yang lainnya bukanlah hal yang mudah untuk diselidiki. Tapi dia meyakinkan bahwa tidak ada seorangpun dengan paham apapun yang akan meneguhkan pendapat dan pikirannya pada kekuatan nama. Dia tidak menyangkal bahwa para pemberi nama memberi nama pada benda berdasarkan gagasan bahwa semua benda bergerak. Namun, menurutnya itu adalah pendapat yang keliru. Mereka terjebak bak berada di pusaran air yang deras, dan Socrates tak ingin ikut-ikutan terjebak. Socrates menegaskan pada Cratylus bahwa bisa saja hal seperti itu benar, tetapi bisa juga salah. Olehnya itu, dia menyarankan Cratylus untuk menyelidikinya dengan lebih berani dan menyeluruh, dan tidak menerima begitu saja segala doktrin dengan mudah, mumpung Cratylus masih muda saat itu (hal. 474/440c-440d)
Mereka akhirnya saling menyemangati untuk memikirkan hal itu lebih intens dan berjanji untuk mendiskusikannya lagi bila sudah menemukan jawabannya (hal. 474/440e).
PENUTUP
Idealnya, kita menyelidiki atau mempelajari realitas tidak hanya mengandalkan nama, tetapi juga dengan melihat atau mempelajari langsung bendanya. Mengutip kata Plato: “Tidak seharusnya energi intelektual kita terkuras habis hanya untuk mencari kebenaran nama (the correctness of name)”.
BAHAN BACAAN
- Plato’s Cratylus. Accessed on December 27, 2007 at http://enwikipedia.org.